Minta Izin

https://mymodernmet.com/lauren-brevner-mixed-media-portraits/

"Silakan kau buat sanjunganmu sendiri. Bisa untukku kalau kau mau, tetapi akan lebih baik bila saat ini aku yang buatkan."
Dari awal kau ulas soal kacamatanya, ada gelora dalam dada untuk bergerilya mengambil alih hati itu. Bergerilya kukata karena memang memenangkanmu perlu cara tersendiri. Cara terselubung, sulit diketahui oleh orang awam. Hanya saja, mungkin orang awam perlu tahu bagaimana cara melukiskan mahakarya dengan aksara.

Kata adalah senjata yang paling ulung untuk menaklukkanmu. Bukan bunga atau coklat, bukan juga sihir karena musyrik. Pujangga muda sepertimu sudah tak mempan dituliskan puisi. Iyalah, kau kan bisa membuatnya sendiri. Silakan kau buat sanjunganmu sendiri. Bisa untukku kalau kau mau, tetapi akan lebih baik bila saat ini aku yang buatkan.

"Sudah pas, semua sudah pas," tulismu.

Bukan begitu maksudku. Itu kan hanya bayanganmu saja karena pikiranmu sudah mati tercumbu. Rasa yang lebih besar di hati mengalahkan akal sehatmu. Masalahnya, kamu betul-betul sadar kalau jemari itu masih bisa menuliskan roman yang lebih indah dan puisi cinta untuk gadis lain.

Kini, bila Ayu Utami giat beremansipasi dengan eksplorasi seksual kaum Hawa dalam Saman, aku menaikkan martabat kaumku dalam sastra denganmu. Mengapa begitu? Ya, karena kamulah objek karya sastraku. Tenang saja, bukan untuk eksplorasi seksual seperti yang biasa dilakukan para penulis Adam dengan kata-kata puitis yang terkesan surealis. Dalam sastra, tempat kaumku lebih dari sekadar objek, tuan. Biarkan puan ini menafsirkannya dengan sederhana. Biarkan untaian kata yang kutulis menjadi syair pujaan yang takkan bisa kau hindari, bahkan mengunci batinmu sampai aku yang bebaskan sendiri.

Saat itu, dunia memang sedang sendu. Aku tidak tahu mengapa. Akan tetapi, awan tebal bergumul di langit Jakarta pertanda hujan. Jalanan sepi, kendaraan jarang berlalu lalang. Di mana ingar-bingar kotaku? Oh iya, lupa. Pandemi global tengah menyerang. Bodohnya, saat itu semua kuterjang. Aku tetap pergi ke sana. Entah mengapa, aku yakin ada sesuatu yang kucari di bangunan tua neoklasik itu.

Untungnya, semuanya tetap berjalan. Tidak sia-sia membangkang sedikit kepada orang tua kalau tempat itu memang masih buka. Sebelum memasukinya, aku sudah pasrah dengan penjaga yang memeriksa suhu tubuhku dengan alat aneh seperti pengecek harga yang dimiliki kasir supermarket.

"36,8 derajat celsius. Boleh masuk," katanya.

Oh, jelas boleh. Kalau tidak, aku sedih. Iyalah, jauh-jauh dari Bekasi jam enam pagi hanya untuk ini, masa tiba-tiba dilarang masuk? Hehe. Pernah merasa begitu yakin tanpa tahu apa yang kamu yakini? Itu perasaanku saat itu. Aku mencari sesuatu yang aku sendiri tak ketahui apa wujudnya. Aku pikir aku betul-betul seperti biasanya, bergairah untuk menggali informasi lebih jauh tentang bangunan itu. Kamu tahulah, sejarahnya cukup menarik dan arsitekturnya sangat megah. Tentunya, history geek macam aku dapat dengan mudah kalut dan tersesat di dalamnya. Anehnya, yang membuatku terhanyut malah obrolan kita saat itu. Parah kan?

"Kutunggu kau main-main ke Neverland," katamu di akhir pertemuan.

Sayangnya, kesempatan itu nihil adanya atau mungkin takkan pernah datang. Aku tak bingung kalau ada akhir dari setiap kisah, tetapi mengapa harus ada akhir di setiap awal yang baru dimulai? Tidak adil, aku kira. Baru beberapa jam yang lalu aku terkesima akan pribadimu, ternyata secepat itu juga aku harus melepaskanmu.
Kuputuskan saja untuk pergi secepatnya supaya tak usah ada banyak cerita yang harus kukenang. Foto saja tak kuambil, hatiku juga sudah kutinggalkan tepat di tempat itu.

Bangunannya? Cantik. Sejarahnya? Menarik. Kamu? Terbaik. Di setiap akhir memang selalu ada asumsi entah baik atau buruk, selalu ada pengalaman manis atau pahit, dan selalu ada seseorang yang kau kenang atau ingin kau temui sekali lagi. Aku pikir aku mau melakukan keduanya, yaitu mengenang dan menemuimu kembali. Meskipun ada gadis lain yang kau puja dalam tulisanmu belakangan ini, biarkan ia pergi dengan seharusnya. Coba kau sadari perlahan kalau sebetulnya yang kau bilang pas belum tentu benar.

Bila kau tak keberatan, izinkan aku menjadi objek karya sastramu, tetapi bukan sebagaimana yang kau lakukan kepadanya. Kuizinkan seseorang melakukannya untukku, bukan kepadaku. Kemari dan mari hapus pilu bersama-sama. Jadikan aksara sebagai saksi dan puisi sebagai janji. Ayo, bersama beraksi!

Komentar

  1. Oi, Diandra. Ini untuk siapa? Masih bisa aja ya nyisipin unsur feminisme di dalamnya. Paling kuat kata-katanya di, "Biarkan untaian kata yang kutulis menjadi syair pujaan yang takkan bisa kau hindari, bahkan mengunci batinmu sampai aku yang bebaskan sendiri." Dari zaman nulis di aqu_wow, emang kamu selalu punya ciri khas tersendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada deh, hehehe. Makasih sudah mengikuti tulisanku dari masih nulis di aqu_wow!

      Hapus
  2. Ya, tapikan kamu gatau juga kalo ada seseorang di sini yang juga mau jadi 'objek' karya sastramu diiii....

    BalasHapus
  3. KETERLALUAN KAMU PUNYA BLOG GA BILANG-BILANG! Nulis lagi ya, Di. Kutunggu opini dan researchmu karena kamu selalu bisa mengemas semuanya jadi mudah dimengerti :) -dam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer